1.
Rubrik biasanya menjadi sebuah kriteria dari suatu hal.
Dalam hal ini, adalah koran atau surat kabar. Rubrik
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kepala karangan (ruangan
tetap) dalam surat kabar, majalah, dsb. Biasanya, rubrik tersebut diletakkan di
bagian kepala karangan atau bagian atas dari sebuah koran atau majalah.
Contoh dari rubrik adalah
rubrik pendidikan, rubrik teknologi, rubrik keluarga, dan rubrik-rubrik
lainnya. Sudah terbayang?
Pamflet adalah
tulisan yang dapat disertai dengan gambar atau tidak, tanpa penyampulan maupun
penjilidan, yang dicantumkan pada selembar kertas di satu sisi atau kedua sisinya,
lalu dilipat atau dipotong setengah, sepertiga, atau bahkan seperempatnya,
sehingga terlihat lebih kecil (dapat juga disebut selebaran). Pamflet dapat
pula terdiri dari beberapa lembar kertas yang dilipat atau disatukan secara
sederhana sehingga menjadi sebuah buku kecil. Untuk dapat dikategorikan sebagai
sebuah pamflet, UNESCO mendefinisikannya sebagai keperluan
publikasi yang bisa terdiri dari 5 sampai 48 halaman tanpa sampul, bila lebih
dari itu disebut buku.
Disebabkan oleh biayanya yang murah dan kemudahan produksi serta distribusi,
pamflet sering digunakan untuk mempopulerkan ide-ide politik dan agama,
atau untuk menyebarkan berita dan promosi / iklan. Materi PembelajaranStruktur Sosial
Kelompok
Sosial Dalam Masyarakat Multikultural
Pengertian dan Macam-macam Kelompok
1. Pengertian kelompok
Kelompok merupakan konsep yang sangat umum dipakai dalam sosiologi dan antropologi. Sebenarnya kelompok merupakan kumpulan manusia yang memiliki syarat-syarat tertentu, dengan kata lain tidak semua pengumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok.
Robert Biersted menyebut adanya tiga kriteria kelompok, yaitu: (1) ada atau tidaknya organisasi, (2) ada atau tidaknya hubungan sosial di antara warga kelompok, dan (3) ada atau tidaknya kesadaran jenis di antara orang-orang yang ada dalam kelompok dimaksud.
Berdasarkan analisis menggunakan tiga kriteria tersebut dalam masyarakat dikenal beberapa jenis atau macam kelompok, yaitu: (1) asosiasi, (2) kelompok sosial, (3) kelompok kemasyarakatan, dan (4) kelompok statistik.
Keterangan:
a. Asosiasi
Asosiasi merupakan kelompok yang memenuhi tiga kriteria Biersted tersebut. Suatu asosiasi atau organisasi formal terdiri atas orang-orang yang memiliki kesadaran akan kesamaan jenis, ada hubungan sosial di antara warga kelompok dan organisasi.
b. Kelompok sosial (Social Groups)
Kelompok yang para anggotanya memiliki kesadaran akan kesamaan jenis serta hubungan sosial di antara warganya, tetapi tidak mengenal organisasi, oleh Biersted disebut sebagai kelompok sosial.
c. kelompok kemasyarakatan (Societal Groups)
Kelompok kemasyarakatan merupakan kelompok yang berisi orang-orang yang memiliki kesadaran jenis saja, tidak ada hubungan sosial di antara orang-orang tersebut maupun organisasi, disebut sebagai kelompok kemasyarakatan (societal groups).
Misalnya kelompok laki-laki, kelompok perempuan. Orang sadar sebagai “sesama laki-laki” atau “sesama perempuan”, namun tidak ada organisasi ataupun komunikasi di antara mereka.
d. Kelompok statistik
Bentuk terakhir dari kelompok adalah kategori atau kelompok statistik, yaitu kelompok yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kesamaan jenis (misalnya jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan sebagainya), tetapi tidak memiliki satu pun dari tiga kriteria kelompok menurut Biersted.
Sebenarnya kelompok statistik bukanlah “kelompok”, sebab tidak memiliki tiga ciri tersebut. Kelompok statistik hanyalah orang-orang yang memiliki kategori statistik sama, misalnya kelompok umur (0-5 tahun, 6-10 tahun, dst.) yang dipakai dalam data penduduk Biro Pusat Statistik. Dalam kelompok ini sama sekali tidak ada organisasi, tidak ada hubungan antar-anggota, dan tidak ada kesadararan jenis.
1. Pengertian kelompok
Kelompok merupakan konsep yang sangat umum dipakai dalam sosiologi dan antropologi. Sebenarnya kelompok merupakan kumpulan manusia yang memiliki syarat-syarat tertentu, dengan kata lain tidak semua pengumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok.
Robert Biersted menyebut adanya tiga kriteria kelompok, yaitu: (1) ada atau tidaknya organisasi, (2) ada atau tidaknya hubungan sosial di antara warga kelompok, dan (3) ada atau tidaknya kesadaran jenis di antara orang-orang yang ada dalam kelompok dimaksud.
Berdasarkan analisis menggunakan tiga kriteria tersebut dalam masyarakat dikenal beberapa jenis atau macam kelompok, yaitu: (1) asosiasi, (2) kelompok sosial, (3) kelompok kemasyarakatan, dan (4) kelompok statistik.
Keterangan:
a. Asosiasi
Asosiasi merupakan kelompok yang memenuhi tiga kriteria Biersted tersebut. Suatu asosiasi atau organisasi formal terdiri atas orang-orang yang memiliki kesadaran akan kesamaan jenis, ada hubungan sosial di antara warga kelompok dan organisasi.
b. Kelompok sosial (Social Groups)
Kelompok yang para anggotanya memiliki kesadaran akan kesamaan jenis serta hubungan sosial di antara warganya, tetapi tidak mengenal organisasi, oleh Biersted disebut sebagai kelompok sosial.
c. kelompok kemasyarakatan (Societal Groups)
Kelompok kemasyarakatan merupakan kelompok yang berisi orang-orang yang memiliki kesadaran jenis saja, tidak ada hubungan sosial di antara orang-orang tersebut maupun organisasi, disebut sebagai kelompok kemasyarakatan (societal groups).
Misalnya kelompok laki-laki, kelompok perempuan. Orang sadar sebagai “sesama laki-laki” atau “sesama perempuan”, namun tidak ada organisasi ataupun komunikasi di antara mereka.
d. Kelompok statistik
Bentuk terakhir dari kelompok adalah kategori atau kelompok statistik, yaitu kelompok yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kesamaan jenis (misalnya jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan sebagainya), tetapi tidak memiliki satu pun dari tiga kriteria kelompok menurut Biersted.
Sebenarnya kelompok statistik bukanlah “kelompok”, sebab tidak memiliki tiga ciri tersebut. Kelompok statistik hanyalah orang-orang yang memiliki kategori statistik sama, misalnya kelompok umur (0-5 tahun, 6-10 tahun, dst.) yang dipakai dalam data penduduk Biro Pusat Statistik. Dalam kelompok ini sama sekali tidak ada organisasi, tidak ada hubungan antar-anggota, dan tidak ada kesadararan jenis.
2. Berbagai macam kelompok/asosiasi dalam masyarakat
a. In group-Out group
Ingroup (kelompok dalam) merupakan kelompok sosial di mana di antara anggota-anggotanya saling simpati dan mempunyai perasaan dekat satu dengan lainnya. Misalnya: kliq. Outgroup (kelompok luar) ialah kelompok yang berada di luar suatu kelompok yang ditandai oleh adanya antagonisme, prasangka atau antipati. Misalnya orang-orang kulit hitam di lingkungan orang-orang kulit putih. Klasifikasi kelompok demikian dikemukakan oleh W.G. Sumner (1940).
b. Kelompok Primer dan sekunder
Klasifikasi ini dikemukakan oleh C.H. Colley (1909). Kelompok primer dan sekunder dibedakan berdasarkan ada tidaknya ciri saling mengenal atau kerjasama yang erat dan bersifat personal di antara anggota-anggotanya. Kelompok dengan ciri demikian disebut kelompok primer, dan yang tidak disebut kelompok sekunder.
c. Gemainschaft dan Gesselschaft
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies (1967). Gemainschaft (paguyuban) adalah suatu bentuk kehidupan bersama yang anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan kekal. Hubungan antar-anggota kelompok paguyuban memiliki ciri : (1) intim, (2) privat, dan (3) eksklusif. Misalnya keluarga.
Menurut Tonnies, ada tiga tipe gemainschaft, yaitu: (1) gemainschaft by blood, contohnya keluarga atau kelompok kekerabatan (klen), (2) gemainschaft of place, misalnya orang-orang se-RT/RW, (3) gemainschaft of mind, yaitu paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang memiliki jiwa atau ideology yang sama, sehingga meskipun bertempat kediaman yang saling berjauhan dan tidak memiliki kesamaan keturunan/keluarga tetapi tetap memiliki hubungan yang erat, intim, kekal dan dalam. Misalnya: kelompok keagamaan (umat), sekte, kelompok kebatinan, dan sebagainya.
Sedangkan Gesselschaft (patembayan) adalah suatu bentuk kehidupan bersama yang didasarkan pada ikatan lahir dan bersifat kontraktual. Contohnya: Sebuah Perusaahaan atau organisasi buruh.
d. Kelompok Formal dan Informal
Klasifikasi ini dikemukakan oleh van Doorn dan Lammers (1964). Kelompok formal merupakan kelompok yang mempunyai peraturan-peraturan yang tegas dan sengaja diciptakan. Di dalam kelompok formal terdapat pembatasan yang tegas mengenai hak-hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab anggota-anggota kelompok sesuai dengan statusnya masing-masing, baik fungsional maupun struktural.
Kelompok informal merupakan kelompok yang dibangun berdasarkan hubungan-hubungan yang bersifat personal dan tidak ditentukan oleh aturan-atuan yang resmi.
e. Kelompok organik dan mekanik
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Emmile Durkheim didasarkan pada ada tidaknya pembagian kerja dalam kelompok. Di dalam kelompok organik terdapat pembagian kerja yang rinci dan tegas di antara anggota-anggotanya, sedangkan pada kelompok mekanik tidak terdapat pembagian kerja. Ada tidaknya pembagian kerja ini menimbulkan pula sifat solidaritas antar-anggota yang berbeda. Pada kelompok organik terdapat solidaritas organik, dan dalam kelompok mekanik terdapat solidaritas mekanik.
f. Membership dan reference group
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Robert K. Merton. Membership Group merupakan kelompok dengan anggota-anggota yang tercatat secara fisik sebagai anggota. Sedangkan reference group merupakan kelompok acuan, maksudnya orang menjadikan kelompok yang bersangkutan sebagai acuan bertindak dan berperilaku, walaupun secara fisik ia tidak tercatat sebagai anggota.
g. Kelompok-kelompok semu dan tidak teratur
1) kerumunan
Kerumunan ialah sekumpulan orang yang tidak terorganisir dan bersifat sementara. Suatu kerumumnan dapat memiliki pemimpin, tetapi tidak memiliki struktur dan pembagian kerja. Identitas seseorang akan tenggelam apabila berada dalam sebuah kerumunan.
Tipe-tipe kerumunan
a) Khalayak penonton (pendengar formal/formal audience)
Kerumunan demikian mempunyai perhatian dan tujuan yang sama, misalnya penonton bioskop, pengunjung khotbah agama, dsb.
b) Kelompok ekspresif yang direncanakan (planned expressive group)
Kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang mempunyai tujuan sama tetapi pusat perhatiannya berbeda-beda, misalnya kerumunan orang-orang yang berpesta
c) Kumpulan orang yang kurang menyenangkan (inconvinent aggregations)
Dalam kerumunan semacam ini kehadiran orang lain merupakan halangan bagi seseorang dalam mencapai tujuan. Misalnya: antre tiket, kerumunan penumpang bus, dst.
d) Kumpulan orang-orang yang panik (panic crowd)
Ialah kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang menghindari bencana/ancaman. Misalnya pengungsi
e) Kerumunan penonton (spectator crowd)
Yaitu kerumunan orang-orang yang ingin melihat sesuatu atau peristiwa tertentu. Kerumunan semacam ini hampir sama dengan formal audience, tetapi tidak terencana
f) Lawless crowd
Yaitu kerumunan orang-orang yang berlawanan dengan hukum, misalnya: acting mobs, yakni kerumunan orang-orang yang bermaksud mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik. Contoh lain: immoral crowd, seperti formal audience, tetapi bersifat menyimpang.
2) publik (massa)
Seringkali disebut dengan khalayak umum atau khalayak ramai. Publik semacam dengan kelompok hanya tidak menjadi kesatuan, hubungan sosial terjadi secara tidak langsung, melainkan melalui alat-alat komunikasi massa, seperti: media massa cetak, elektronik, termasuk pembicaraan berantai, desas-desus, dan sebagainya.
a) Khalayak penonton (pendengar formal/formal audience)
Kerumunan demikian mempunyai perhatian dan tujuan yang sama, misalnya penonton bioskop, pengunjung khotbah agama, dsb.
b) Kelompok ekspresif yang direncanakan (planned expressive group)
Kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang mempunyai tujuan sama tetapi pusat perhatiannya berbeda-beda, misalnya kerumunan orang-orang yang berpesta
c) Kumpulan orang yang kurang menyenangkan (inconvinent aggregations)
Dalam kerumunan semacam ini kehadiran orang lain merupakan halangan bagi seseorang dalam mencapai tujuan. Misalnya: antre tiket, kerumunan penumpang bus, dst.
d) Kumpulan orang-orang yang panik (panic crowd)
Ialah kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang menghindari bencana/ancaman. Misalnya pengungsi
e) Kerumunan penonton (spectator crowd)
Yaitu kerumunan orang-orang yang ingin melihat sesuatu atau peristiwa tertentu. Kerumunan semacam ini hampir sama dengan formal audience, tetapi tidak terencana
f) Lawless crowd
Yaitu kerumunan orang-orang yang berlawanan dengan hukum, misalnya: acting mobs, yakni kerumunan orang-orang yang bermaksud mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik. Contoh lain: immoral crowd, seperti formal audience, tetapi bersifat menyimpang.
2) publik (massa)
Seringkali disebut dengan khalayak umum atau khalayak ramai. Publik semacam dengan kelompok hanya tidak menjadi kesatuan, hubungan sosial terjadi secara tidak langsung, melainkan melalui alat-alat komunikasi massa, seperti: media massa cetak, elektronik, termasuk pembicaraan berantai, desas-desus, dan sebagainya.
Berbagai
Kelompok Sosial Dalam Masyarakat Multikultural
|
|
|||||||||||||||||
|
Sikap
Keberagamaan Kini Bak Gedung Tak Berjendela
Jumat, 15 Maret 2013 | 00:32 WIB
www.dpcdsb.org
Ilustrasi
SEMARANG, KOMPAS.com--Antropolog Universitas Diponegoro Semarang
Prof Mudjahirin Thohir menilai sikap keberagamaan masyarakat Indonesia sekarang
ini ibarat gedung tanpa jendela sehingga kerap terjadi konflik.
"Ibarat
gedung tanpa jendela, mengatakan dirinya paling benar. Melupakan bahwa pada
saat yang sama, di rumah atau gedung lain ada kelompok agama yang berbeda
mengatakan hal yang kurang lebih sama," katanya di Semarang, Kamis.
Hal
tersebut diungkapkan Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa
Tengah itu usai peluncuran dan diskusi buku terbarunya yang berjudul
"Multikulturalisme; Agama, Budaya, dan Sastra".
Menurut
dia, sikap keberagamaan semacam itu justru akan membuat sikap eksklusif dengan
menafikkan realitas keberagaman yang dimiliki Indonesia, serta membuat rasa
ketidaknyamanan dalam menghadapi perbedaan agama.
Ia
kembali mengibaratkan realitas keberagaman sebagai jalan besar yang dilalui
berbagai kendaraan, mulai becak, bemo, motor, mobil, hingga truk besar yang
sama-sama ingin lewat untuk sampai ke tempat tujuan.
"Semua
kendaraan sama-sama ingin lewat agar sampai tujuan. Tentunya, masing-masing
harus mau memberi ruang kepada sesama pengguna jalan yang lain. Tidak boleh
seenaknya, sebab bisa berserempetan atau tabrakan," katanya.
Kalau
sampai terjadi serempetan atau tabrakan antarkendaraan, kata Mudjahirin yang
juga pengajar antropologi agama pascasarjana IAIN Walisongo Semarang itu,
keduanya sama-sama rugi dan akan menghabiskan energi.
Ia
mengatakan mungkin ada sebagian orang yang berkepentingan dengan timbulnya
konflik agama kemudian memanfaatkan kesempatan, diperparah dengan ketidakadilan
dan kesenjangan sosial di masyarakat.
"Bahwa
konflik itu natural, memang iya. Sebab, kita anak keturunan Qabil (anak Nabi
Adam) yang membunuh saudaranya sendiri. Tetapi, bukan berarti dibiarkan saja.
Harus ada upaya mengelola permasalahan," katanya.
Ia
mengakui ajaran dakwah (syiar agama) memang ada dalam agama, tetapi agama
sebenarnya terbagi dalam dua aspek, yakni teologis yang berkaitan hubungan
dengan Tuhan dan sosiologis berkaitan hubungan antarmanusia.
"Seseorang
yang beragama memang harus meyakini agamanya paling benar. Itu harus. Tetapi,
pada aspek sosial jangan melupakan bahwa setiap orang juga ingin mencapai apa
yang diyakininya benar dan baik," kata Mudjahirin.
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudon
Konflik dan Lunturnya Solidaritas Sosial Masyarakat
Desa Transisi, oleh: Zulkarnain Nasution
Konflik dan Lunturnya
Solidaritas Sosial pada masyarakat desa transisi
Konflik yang terjadi
antar warga desa akhir-akhir ini semakin sering menjadi pemberitaan di
media massa baik cetak maupun elektronik. Beragamnya masalah konflik yang
timbul mulai dari masalah yang sepele, saling mengejek antar pemuda, sampai
persoalan perbedaan pendapat dan pandangan antar warga desa akhir ini patut
dijadikan sebagai bahan renungan bersama.
Salah satu potensi
konflik yang terjadi pada masyarakat desa secara langsung dan terbuka adalah
antara warga dusun (masyarakat kampung) dengan warga perumahan (masyarakat
pendatang) sebagai masyarakat desa transisi. Masyarakat desa transisi merupakan
masyarakat yang bertempat tinggal di perumahan dan permukiman baru di daerah
pinggiran kota atau pinggiran pedesaan yang terjadi interaksi sosial sehingga
terjadi tumpang tindih nilai-nilai tradisional peralihan menuju nilai-nilai
modern.
Pada masyarakat desa
transisi, peluang konflik antara warga perumahan dengan warga dusun
tersebut bisa terjadi akibat dari adanya pihak ketiga, yakni pihak developer
perumahan dalam pembangunan sarana dan prasarana yang selalu mengabaikan
pembangunan di dusun, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial warga dusun,
kurang memberikan peluang integrasi sosial antara warga perumahan dengan warga
dusun, serta kesempatan peluang kerja bagi warga dusun sebagai masyarakat asli
yang sudah lama bertempat tinggal di desa tersebut.
Pada masa lalu
masyarakat desa dikenal dengan sifat gotong royong. Gotong royong merupakan
suatu bentuk saling tolong menolong yang berlaku di daerah pedesaan Indonesia.
Berdasarkan sifatnya gotong royong terdiri atas gotong royong bersifat tolong
menolong dan bersifat kerja bakti. Gotong royong merupakan perilaku yang
berhubungan dengan kehidupan masyarakat kita sebagai petani (agraris). Gotong
royong sebagai bentuk kerjasama antar individu, antar individu dengan kelompok,
dan antar kelompok, membentuk suatu norma saling percaya untuk melakukan
kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk
kerja-sama gotong royong semacam ini merupakan salah satu bentuk
solidaritas sosial.
Gotong royong
merupakan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kita sebagai
petani (agraris). Gotong royong sebagai bentuk kerjasama antar individu, antar
individu dengan kelompok, dan antar kelompok, membentuk suatu norma saling
percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi
kepentingan bersama. Bentuk kerja-sama gotong royong semacam ini
merupakan salah satu bentuk solidaritas sosial. Dalam masyarakat primer
(umumnya terjadi pedesaan) dicirikan masyarakat yang guyub,
teposelero,
dan jalinan kerjasamanya erat. Tetapi dalam masyarakat tipe sekunder justru
terjadi sebaliknya.
Dahulu masyarakat
desa dalam khasanah sosiologi dikenal dengan sebutan masyarakat primer. Namun
kini proses solidaritas sosial dan tingkat partisipasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Proses memudarnya ikatan kerjasama itu disebabkan
berbagai faktor, misalnya: masuknya nilai-nilai kapitalisme, perubahan sosial
budaya, migrasi, urbanisasi, dan lain-lain.
Selain itu pada era
globalisasi dan informasi telah terjadi perubahan pada berbagai aspek yang
mendorong keterbukaan pada hampir di semua aspek dan sistem kehidupan manusia,
termasuk pada masyarakat desa. Pengaruh globalisasi ini antara lain menyebabkan
terbentuknya masyarakat desa transisi. Masyarakat desa transisi merupakan
masyarakat yang di dalamnya terdapat masyarakat asli yang sudah secara turun
temurun tinggal di desa tersebut dan masyarakat pendatang yang baru bertempat
tinggal di desa tersebut.
Karakteristik
masyarakat desa transisi ini meliputi: (a) terjadinya tumpang tindih antara
nilai-nilai tradisional dengan proses modern. Hal ini dipertegas Riggs
(1998) yang menyebutkan terjadi pola campuran antara nilai-nilai tradisional
dengan proses modern. Disatu sisi nilai-nilai modern yang mempengaruhi perilaku
kehidupan masyarakat desa untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional, di sisi
lain nilai-nilai tradisional yang positif harus bisa dipertahankan dan tidak
harus dihilangkan, akan tetapi dikelola secara proporsional dan
fungsional, seperti nilai-nilai solidaritas pada masyarakat perdesaan di Jawa,
tradisi soyo (membantu membangun
atau merenovasi rumah tetangga tanpa dibayar upah), tradisi ngelayat (mendatangi keluarga
tetangga yang ditimpa musibah meninggal), tradisi rewang (membantu tenaga
tetangga yang punya hajatan), tradisiklontang (memberi sumbangan
uang kepada tetangga yang ditimpa musibah kematian dimasukkan ke dalam kardus
aqua atau kaleng), tradisi buwuh (memberikan sumbangan
uang pada tetangga/warga yang menyelenggarakan hajatan), dan tradisi lainnya;
(b) masyarakat menjadi heterogen, seperti: tingkat pendidikan,
perkerjaan, dan kepercayaannya; (c) terjadinya pembangunan perumahan baru di
desa pinggiran yang tidak memperhatikan kondisi masyarakat sekitar,
mengakibatkan bisa terjadinya pertentangan antara nilai-nilai yang dibangun
masyarakarat pendatang dengan masyarakat asli, dan kecemburuan sosial;
(d) kawasan desa pinggiran kota, kawasan di mana semakin tumbuh dan
berkembangnya kawasan-kawasan industri, perdagangan, dan peru-mahan yang
membawa dampak positif, yakni memberikan kesempatan kerja non pertanian bagi
masyarakat di wilayah tersebut dan sisi negatifnya terjadi konflik antara
masyarakat asli dan pendatang; (e) masyarakat desa yang mengalami peralihan
dari mata pencaharian di bidang agraris (pertanian) menuju mata
pencaharian non pertanian.
Kondisi tersebut
terutama terjadi pedesaan, khususnya masyarakat desa yang letaknya di
pinggiran kota karena kemajuan komunikasi dan kecenderungan menjadi pusat
perdagangan serta lalu lintas komunikasi yang akan mengalami perubahan drastis.
Perubahan ini akan paling terasa pada masyarakat desa transisi tersebut dalam
pergeseran solidaritas.
Guna memelihara
nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat secara sukarela dalam
pembangunan di era sekarang ini perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang
berlangsung karena ikatan kultural sehingga munculnya kebersamaan komunitas
yang unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh.
Pada akhirnya menum-buhkan kembali solidaritas sosial. Karena solidaritas
sosial adalah kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok dan
merupakan suatu keadaan hubungan antara individu atau kelom-pok
yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta
diperkuat pengalaman emosional bersama.
Solidaritas sosial
adalah perasaan yang secara kelompok memiliki nilai-nilai yang sama atau
kewajiban moral untuk memenuhi harapan-harapan peran (role
expectation).
Sebab itu prinsip solidaritas sosial masyarakat meliputi: saling membantu,
saling peduli, bisa bekerjasama, saling membagi hasil panen, dan
bekerjasama dalam mendukung pembangunan di desa baik secara keuangan maupun
tenaga dan sebagainya.
Tradisi solidaritas
sosial yang telah ada pada masyarakat kita secara terus menerus harus tetap
dilestarikan dari generasi ke generasi berikutnya akan tetapi karena dinamika
budaya tidak ada yang statis, terjadilah beberapa perubahan secara eksternal
dan internal. Unsur kekuatan yang merubah adalah modernisasi yang telah
mempengaruhi tradisi solidarits sosial. Selain itu perubahan solidaritas sosial
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (a) meningkatnya tingkat
pendidikan anggota keluarga sehingga dapat berpikir lebih luas dan lebih
memahami arti dan kewajiban mereka sebagai manusia, (b) perubahan tingkat
sosial dan corak gaya hidup kadang-kadang menciptakan kerenggangan di
antara sesama anggota keluarga, (c) Sikap egoistik, bila seseorang individu
terlalu mementingkan diri sendiri dan keluarganya, lalu mengorbankan
kepentingan masyarakat.
Bentuk perubahan
solidaritas sosial yang telah terjadi dalam masyarakat desa antara lain: (a)
Adanya kecenderungan pada masyarakat kita, khususnya masyarakat desa
transisi pada warga asli dan warga pendatang berupa kecurigaan terhadap orang
lain yang dianggap sebagai lawan yang berbahaya, ini bisa mengakibatkan
terjadinya konflik antar kedua masyarakat tersebut. (b) Semakin menipisnya
tingkat saling percaya dan tolong menolong dalam kehidupan masyarakat,
sehingga mengakibatkan menurunnya rasa solidaritas sosial dalam proses
kehidupan.
Upaya memelihara
solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
tidaklah semudah yang dibayangkan, karena solidaritas sosial akan terus
berkembang menuju kehidupan sosial yang modern. Mampukah masyarakat desa,
khususnya desa transisi beradaptasi dengan masuknya nilai-nilai yang modern
yang mementingkan sikap individualitas dan tidak mengandung nilai-nilai
kearifan lokal? sementara nilai budaya lokal yang dianut mengandung nilai-nilai
kearifan dan sejalan dengan nilai budaya yang ada.
Nilai-nilai
solidaritas sosial pada masyarakat desa transisi: (1)
tumbuh dari pertautan (integrasi) antara nilai tradisi
lokal dengan nilai modern, akibat terjadinya
interaksi antar kedua warga tersebut, (2) Nilai-nilai solidaritas yang memiliki
kearifan lokal pada masyarakat dusun dan masyarakat perumahan yang positif
harus dipelihara seiring dengan banyaknya pembangunan perumahan baru di
wilayah pedesaan, karena nilai-nilai
tersebut cenderung meningkatkan partisipasi dalam
pembangunan. Pihak pengembang perumahan berkewajib-an mengontrol dan
melakukan kerjasama dengan aparat desa dan
tokoh masyarakat di lingkungan masing-masing
terhadap proses sosial yang berkembang dipemukiman
baru, agar segala gejala negatif yang muncul dapat segera diantisipasi,
misalnya gejala segregasi sosial
(mengabaikan kelangsungan sosial dan budaya
karena menurut perhitungan ekonomi
dianggap tidak menguntungkan developer), konflik
sosial, dan dislokasi sosial (perubahan pemukiman
penduduk dalam jumlah besar dan waktu relatif cepat) sehingga menimbulkan
masalah sosial.
Penulis,
Pengamat Sosiologi
Pedesaan, Staf Pengajar Jurusan PLS FIP, dan Kepala Humas UM
www.fauzanponsel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar